Pembentukan heme
Heme adalah gugus
prostetik yang terdiri dari atom besi
yang terdapat di tengah-tengah cincin organik heterosiklik yang luas yang disebut porfirin.
Tidak semua porfirin mengandung besi, tapi fraksi metalloprotein
yang mengandung porfirin memiliki heme sebagai gugus protetiknya; ini kemudian
dikenal sebagai hemoprotein.
Heme banyak dikenal dalam perannya sebagai komponen Hemoglobin, namun heme juga merupakan komponen
dari sejumlah hemoprotein lainnya.
METABOLISME PORFIRIN
1. Pendahuluan
1.1 Batasan
Porfirin adalah senyawa siklik yang dibentuk dari gabungan empat cincin pirol melalui jembatan metenil (-CH=). Sifat khas porfirin adalah pembentukan kompleks dengan ion-ion logam (metaloporfirin) yang terikat pada atom nitrogen cincin-cincin pirol. Sebagai contoh misalnya heme yang merupakan porfirin besi dan klorofil, merupakan porfirin magnesium.
1. Pendahuluan
1.1 Batasan
Porfirin adalah senyawa siklik yang dibentuk dari gabungan empat cincin pirol melalui jembatan metenil (-CH=). Sifat khas porfirin adalah pembentukan kompleks dengan ion-ion logam (metaloporfirin) yang terikat pada atom nitrogen cincin-cincin pirol. Sebagai contoh misalnya heme yang merupakan porfirin besi dan klorofil, merupakan porfirin magnesium.
Di alam,
metaloporfirin terkonjugasi dengan protein membentuk senyawa-senyawa penting
dalam proses biologi, antara lain: (1) Hemoglobin, merupakan porfirin besi yang
terikat pada protein globin dan mempunyai fungsi penting pada mekanisme
transport oksigen dalam darah;(2) Mioglobin, merupakan pigmen pernafasan yang
terdapat dalam sel-sel otot; (3) Sitokrom, berperan sebagai pemindah elektron
(electron transfer) pada proses oksidasi reduksi.
1.2 Kimia Porfirin
Porfirin mengandung nitrogen tersier pada 2 cincin pirolen sehingga bersifat basa lemah dan adanya gugus karboksil pada rantai sampingnya menyebabkan juga bersifat asam. Titik isoelektriknya berkisar pada pH 3-4, sehingga pada pH trersebut porfirin mudah diendapkan dalam larutan air. Berbagai jenis porfirinogen tidak berwarna, sedangkan berbagai jenis porfirin berwarna. Porfirin dan derivat-derivatnya mempunyai spektrum absorbsi yang khas pada daerah yang dapat dilihat dan pada daerah ultraviolet. Larutan porfirin dalam HCl 5% mempunyai pita absorbsi pada 400 nm yang disebut pita Soret.
Porfirin mengandung nitrogen tersier pada 2 cincin pirolen sehingga bersifat basa lemah dan adanya gugus karboksil pada rantai sampingnya menyebabkan juga bersifat asam. Titik isoelektriknya berkisar pada pH 3-4, sehingga pada pH trersebut porfirin mudah diendapkan dalam larutan air. Berbagai jenis porfirinogen tidak berwarna, sedangkan berbagai jenis porfirin berwarna. Porfirin dan derivat-derivatnya mempunyai spektrum absorbsi yang khas pada daerah yang dapat dilihat dan pada daerah ultraviolet. Larutan porfirin dalam HCl 5% mempunyai pita absorbsi pada 400 nm yang disebut pita Soret.
Porfirin dalam asam
mineral kuat atau pelarut organik dan kemudian disianari sinar ultraviolet akan
memancarkan fluoresensi merah yang kuat. Sifat fluoresensi ini sangat khas
sehingga sering dipakai untuk mendeteksi porfirin bebas dengan jumlah yang
sedikit. Sifat absorbsi dan fluoresensi yang khas dari porfirin disebabkan oleh
ikatan rangkap yang menyatukan cincin pirol. Ikatan rangkap ini tidak ada pada
porfirinogen sehingga tidak menunjukkan sifat-sifat tersebut. Jika porfirinogen
mengalami oksidasi dengan melepaskan 6 atom H akan terbentuk porfirin yang
mempunyai ikatan rangkap.
2. Biosintesis Heme
2.1 Tahap-tahap Biosintesis Heme
Biosintesis heme dapat terjadi pada sebagian besar jaringan kecuali eritrosit dewasa yang tidak mempunyai mitokondria. Sekitar 85% sintesis heme terjadi pada sel-sel prekursor eritoid di sumsum tulang dan sebagian besar sisanya di sel hepar. Biosintesis heme dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: (1) Sintesis porfirin; (2) Sintesis heme.
2.1 Tahap-tahap Biosintesis Heme
Biosintesis heme dapat terjadi pada sebagian besar jaringan kecuali eritrosit dewasa yang tidak mempunyai mitokondria. Sekitar 85% sintesis heme terjadi pada sel-sel prekursor eritoid di sumsum tulang dan sebagian besar sisanya di sel hepar. Biosintesis heme dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: (1) Sintesis porfirin; (2) Sintesis heme.
Biosintesis heme
dimulai di mitokondria melalui reaksi kondensasi antara suksinil-KoA yang
berasal dari siklus asam sitrat dan asam amino glisin. Reaksi ini memerlukan
piridoksal fosfat untuk mengaktivasi glisin, diduga piridoksal bereaksi dengan
glisin membentuk basa Shiff, di mana karbon alfa glisin dapat bergabung dengan
karbon karbosil suksinat membentuk α-amino-β-ketoadipat yang dengan cepat
mengalami dekarboksilasi membentuk d-amino levulinat (ALA/AmLev). Rangkaian
reaksi ini dikatalisis oleh AmLev sintase/sintetase yang merupakan enzim
pengendali laju reaksi pada biosintesis porfirin.
AmLev yang terbentuk
kemudian keluar ke sitosol. Di sitosol 2 molekul AmLev dengan perantaraan enzim
AmLev dehidratase/dehidrase membentuk porfobilinogen yang merupakan prazat
pertama pirol. AmLev dehidratase merupakan enzim yang mengandung seng dan
sensitif terhadap inhibisi oleh timbal
Empat porfobilinogen
selanjutnya mengadakan kondensasi membentuk tetrapirol linier yaitu hidroksi
metil bilana yang dikatalisis oleh enzim uroporfirinogen I sintase
(porfobilinogen deaminase). Hidroksi metil bilana selanjutnya mengalami
siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen I yang simetris atau diubah menjadi
uroporfirinogen III yang asimetris dan membutuhkan enzim tambahan yaitu
uroporfirinogen III kosintase Pada kondisi normal hampir selalu terbentuk
uroporfirinogen III.
Uroporfirinogen III
selanjutnya mengalami dekarboksilasi, semua gugus asetatny (A) menjadi gugus
metil (M) membentuk koproporfirinogen III. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim
uroporfirinogen dekarboksilase. Enzim ini juga mampu mengubah uroporfirinogen I
menjadi koproporfirinogen I.
Selanjutnya,
koproporfirinogen III masuk ke dalam mitokondria serta mengalami dekarboksilasi
dan oksidasi, gugus propionat (P) pada cincin I dan II berubah menjadi vini
(V). Reaksi ini dikatalisis oleh koproporfirinogen oksidase dan membentuk
protoporfirinogen IX. Enzim tersebut hanya bisa bekerja pada koproporfirinogen
III, sehingga protoporfirinogen I umumnya tidak terbentuk. Protoporfirinogen IX
selanjutnya mengalami oksidasi oleh enzim protoporfirinogen oksidase membentuk
protoporfirin IX. Protoporfirin IX yang dihasilkan akan mengalami proses
penyatuan dengan Fe++ melalui suatu reaksi yang dikatalisis oleh heme sintase
atau ferokelatase membentuk heme.
2.2 Pengendalian
Biosintesis Heme
Enzim yang bertindak sebagai regulator biosintesis heme adalah AmLev sintase. Heme yang mungkin bekerja melalui molekul aporepresor menghambat sintesis AmLev sintase, dalam hal ini kemungkinan terjadi feed back negative. Obat yang metabolismenya menggunakan hemoprotein spesifik di hati (sitokrom-P450) menyebabkan konsentrasi heme intra seluler menurun. Hal ini menyebabkan represi terhadap AmLev sintase menurun. Aktivitas AmLev sintase meningkat sehingga sintesis heme juga meningkat. Pemberian glukosa dan hematin dapat mencegah pembentukan AmLev sintase sehingga menurunkan sintesis heme.
Enzim yang bertindak sebagai regulator biosintesis heme adalah AmLev sintase. Heme yang mungkin bekerja melalui molekul aporepresor menghambat sintesis AmLev sintase, dalam hal ini kemungkinan terjadi feed back negative. Obat yang metabolismenya menggunakan hemoprotein spesifik di hati (sitokrom-P450) menyebabkan konsentrasi heme intra seluler menurun. Hal ini menyebabkan represi terhadap AmLev sintase menurun. Aktivitas AmLev sintase meningkat sehingga sintesis heme juga meningkat. Pemberian glukosa dan hematin dapat mencegah pembentukan AmLev sintase sehingga menurunkan sintesis heme.
Biosintesa porfirin dan heme
Langkah awal biosintesa porfirin pada mamalia ialah kondensasi
suksinil ko-A yang berasal dari siklus asam sitrat dalam mitokondria dengan
asam amino glisin membentuk asam α amino β ketoadipat, dikatalisis oleh χ amino
levulenat sintase dan memerlukan piridoksal phosfat untuk mengaktifkan glisin.
Asam diatas segera mengalami dekarboksilasi membentuk χ amino levulenat atau
sering disingkat ALA. Enzym ALA sintase merupakan enzym pengendali kecepatan
reaksi .
Didalam sitosol 2 molekul ALA berkondensasi dan mengalami reaksi
dehidrasi membentuk porfobilinogen/PBG yang dikatalisis oleh ALA dehidratase.
4 molekul PBG berkondensasi membentuk hidroksi metil bilana, suatu
tetrapirol linier oleh enzym uroporfirinogen I sintase atau disebut juga PBG
deaminase kemudian terjadi reaksi siklisasi spontan membentuk uroporfirinogen,
suatu tetrapirol siklik. Pada keadaan normal uroporfirinogen I sintase adalah
kompleks enzym dengan uroporfirinogen III kosintase sehingga kerja kedua
kompleks enzym tersebut akan membentuk uroporfirinogen III, yang mempunyai susunan
rantai samping asimetris. Bila kompleks enzym abnormal atau hanya terdapat
enzym sintase saja, di bentuk uroporfirinogen I yaitu suatu bentuk isomer
simetris yang tidak fisiologis.
Rangka porfirin sekarang telah terbentuk, uroporfirinogen I atau
III mengalami dekarboksilasi membentuk koproporfirinogen I atau III dengan
melepas 4 molekul CO2 hingga rantai samping asetat pada
uroporfinogen menjadi metil, reaksi ini dikatalisis oleh uroporfirinogen
dekarboksilase. Hanya koproporfirinogen III yang dapat kembali masuk
kemitokondria, mengalami dekarboksilasi dan oksidasi membentuk
protoporfirinogen III oleh enzym koproporfirinogen oksidase, dimana dua rantai
samping propionat koproporfirinogen menjadi vinil.
Protoporfirinogen III dioksidasi menjadi protoporfirin III oleh
protoporfirinogen oksidase yang memerlukan oksigen. Protoporfirin III
diidentifikasi sebagai isomer porfirin seri IX dan disebut juga dengan
protoporfirin IX. Porfirin tipe I dan III dibedakan berdasar simetris tidaknya
gugus substituen seperti asetat, propionat dan metil pada cincin pirol ke IV.
Penggabungan besi (Fe 2+) ke protoporfirin IX yang
dikatalisa oleh Heme sintase atau Ferro katalase dalam mitokondria akan
membentuk heme.
Porfiria
Penyakit turunan atau bisa berupa penyakit yang didapat yang
disebabkan oleh defisiensi salah satu enzym pada jalur biosintesa heme dan
mengakibatkan penumpukan dan peningkatan porfirin atau prazatnya dijaringan
atau didalam urine. Kelainan ini jarang dijumpai tapi perlu dipikirkan dalam
keadaan tertentu misalnya sebagai diagnosa banding pada penyakit dengan keluhan
nyeri abdomen, fotosensitivitas dan gangguan psikiatri .
Porfiria dikelompokkan
menjadi 3 golongan yaitu :
1. Porfiria eritropoetik
2. Porfiria hepatik
3. Protoporfiria (gabungan)
Porfiria eritropoetik,
merupakan kelainan kongenital. Terjadi karena ketidak seimbangan enzym kompleks
uroporfirinogen sintase dan kosintase. Pada jenis porfiria ini dibentuk
uroporfirinogen I yang tidak diperlukan dalam jumlah besar. Juga terjadi
penumpukan uroporfirin I, koproporfirin I dan derivat simetris lainnya.
Penyakit ini diturunkan secara otosomal resesif dan memunculkan fenomena berupa
eritrosit yang berumur pendek, urine pasien merah karena ekskresi uroporfirin I
dalam jumlah besar, gigi yang berfluoresensi merah karena deposisi porfirin dan
kulit ©2004 Digitized by USU digital library 3
yang hipersensitif terhadap sinar karena porfirin yang diaktifkan
cahaya bersifat sangat reaktif .
Porfiria hepatik dibagi
menjadi beberapa jenis antara lain :
- Intermitten acute porfiria ( IAP )
- Koproporfiria herediter
- Porfiria variegata
- Porfiria cutanea tarda
- Porfiria toksik
IAP terjadi karena defisiensi partial uroporfirinogen I sintase,
diturunkan secara otosomal dominan. Pada penyakit ini dijumpai ekskresi
porfobilinogen dan asam amino levulenat yang meningkat menyebabkan urine
berwarna gelap.
Koproporfiria herediter terjadi karena defisiensi partial
koproporfirinogen oksidase, diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat
peningkatan ekskresi koproporfirinogen dan menyebabkan urine berwarna merah.
Porfiria variegata terjadi karena defisiensi partial
protoporfirinogen oksidase, diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat
peningkatan ekskresi hampir seluruh zat-zat antara sintesa heme.
Porfiria cutanea tarda terjadi karena defisiensi partial
uroporfirinogen dekarboksilasi, diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat
peningkatan ekskresi uroporfirin yang bila terpapar cahaya menyebabkan urine
berwarna merah. Porfiria ini paling sering dijumpai dibanding yang lainnya .
Porfiria toksik atau akuisita disebabkan oleh obat atau zat toksik
seperti griseofulvin, barbiturat, heksachlorobenzene, Pb dan sebagainya.
Protoporfiria atau
protoporfiria gabungan dikarenakan terjadinya defisiensi partial ferrokatalase,
diturunkan secara autosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi
protoporfirin dalam urine.
Gejala klinis yang dapat
muncul dapat dikelompokkan dalam dua patogenesa yaitu bila kelainan enzym
sintesa heme menyebabkan penumpukan asam amino levulenat dan porfobilinogen
disel atau cairan tubuh akan menghambat kerja ATP ase dan meracuni neuron
sehingga menimbulkan gejala-gejala neuro-psikiatri sedangkan bila kelainan
enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan porfirinogen dikulit dan dijaringan
lain akan teroksidasi spontan membentuk porfirin yang apabila terpapar dengan
cahaya, porfirin akan bereaksi dengan O2 molekuler membentuk suatu
radikal bebas yang sangat reaktif dan merusak jaringan atau kulit dimana
porfirin terdeposisi, peristiwa ini memunculkan gejala-gejala fotosensitivitas.
Therapi yang dapat diberikan hanyalah bersifat symptomatik karena
therapi kausal yang bersifat genetik masih sulit dikerjakan. Obat yang dapat
dipakai dan beberapa tindakan yang dianjurkan seperti misalnya hindari preparat
atau obat yang merangsang aktifitas sitokrom P- 450 seperti obat anestesia,
alkohol, steroid dan lain-lain. Hindari zat-zat toksik penyebab porfiria.
Pemberian zat-zat seperti glukosa dan hematin yang menekan kerja ALA sintase
untuk menghambat pembentukan pra zat porfirin. Pemberian anti oksidan seperti
karoten, vitamin E dan C juga dapat dianjurkan pemakaian tabir surya guna
menggurangi pemaparan terhadap cahaya.
Katabolisme Heme
Katablisme Heme
Menghasilkan Bilirubin
Dalam keadaan normal, umur eritrosit sekitar 120 hari. Sehingga, sekitar 100-200 juta eritrosit dihancurkan setiap jammya. Dalam 1 hari lebih kurang 6 gram hemoglobin (untuk berat badan 70 kg) dihancurkan. Proses degradasi ini terjadi di jaringan retikulo endothelial (limpa, hati, dan sumsum tulang), yaitu pada bagian mikrosom dari sel retikulo endothelial.
Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Bagian protein globin diuraikan menjadi asam amino-asam amino pembentuknya kemudian digunakan kembali. Besi akan dilepaskan dari heme kemudian memasuki depot besi yang juga dapat dipakai kembali. Sedangkan porfirinnya akan dikatabolisme dan menghasikan bilirubin.
Proses pertama dari katabolisme heme dilakukan oleh kompleks enzim heme oksigenase. Pada saat mencapai heme oksigenase besi umumnya sudah teroksidasi menjadi bentuk feri membentuk hemin. Hemin kemudian direduksi dengan NADPH, besi feri dirubah kembali menjadi fero. Dengan bantuan NADPH kembali, oksigen ditambahkan pada jembatan a metenil (antara cincin pirol I dan II) membentuk gugus hidroksil, besi fero teroksidasi kembali menjadi feri. Heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrat. Selanjutnya, dengan penambahan oksigen lagi ion feri dibebaskan serta terbentuk karbon monoksida dan biliverdin IXa yang berwarna hijau. Pada reaksi ini heme bertindak sebagai katalisator. Pada burung dan amfibia, diekskresi biliverdin IXa. Sedangkan pada mamalia, dengan bantuan enzim biliverdin reduktase, terjadi reduksi jembatan metenil antara cincin pirol III dan IV menjadi gugus metilen, membentuk bilirubin IXa yang berwarna kuning. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin. Perubahan heme menjadi bilirubin secara in vivo dapat diamati pada warna ungu hematom yang perlahan-lahan beirubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning.
Dalam keadaan normal, umur eritrosit sekitar 120 hari. Sehingga, sekitar 100-200 juta eritrosit dihancurkan setiap jammya. Dalam 1 hari lebih kurang 6 gram hemoglobin (untuk berat badan 70 kg) dihancurkan. Proses degradasi ini terjadi di jaringan retikulo endothelial (limpa, hati, dan sumsum tulang), yaitu pada bagian mikrosom dari sel retikulo endothelial.
Hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Bagian protein globin diuraikan menjadi asam amino-asam amino pembentuknya kemudian digunakan kembali. Besi akan dilepaskan dari heme kemudian memasuki depot besi yang juga dapat dipakai kembali. Sedangkan porfirinnya akan dikatabolisme dan menghasikan bilirubin.
Proses pertama dari katabolisme heme dilakukan oleh kompleks enzim heme oksigenase. Pada saat mencapai heme oksigenase besi umumnya sudah teroksidasi menjadi bentuk feri membentuk hemin. Hemin kemudian direduksi dengan NADPH, besi feri dirubah kembali menjadi fero. Dengan bantuan NADPH kembali, oksigen ditambahkan pada jembatan a metenil (antara cincin pirol I dan II) membentuk gugus hidroksil, besi fero teroksidasi kembali menjadi feri. Heme oksigenase dapat diinduksi oleh substrat. Selanjutnya, dengan penambahan oksigen lagi ion feri dibebaskan serta terbentuk karbon monoksida dan biliverdin IXa yang berwarna hijau. Pada reaksi ini heme bertindak sebagai katalisator. Pada burung dan amfibia, diekskresi biliverdin IXa. Sedangkan pada mamalia, dengan bantuan enzim biliverdin reduktase, terjadi reduksi jembatan metenil antara cincin pirol III dan IV menjadi gugus metilen, membentuk bilirubin IXa yang berwarna kuning. Satu gram hemoglobin diperkirakan menghasilkan 35 mg bilirubin. Perubahan heme menjadi bilirubin secara in vivo dapat diamati pada warna ungu hematom yang perlahan-lahan beirubah menjadi bilirubin yang berwarna kuning.
Metabolisme Bilirubin
di Hati
Metabolisme bilirubin dalam hati dibagi menjadi 3 proses:
1. Pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati
2. Konjugasi bilirubin
3. Sekresi bilirubin ke dalam empedu
Pengambilan Bilirubin oleh Hati
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma dan terikat dengan protein, terutama albumin. Beberapa senyawa seperti antibiotika dan obat-obatan bersaing dengan bilirubin untuk mengadakan ikatan dengan albumin. Sehingga, dapat mempunyai pengaruh klinis. Dalam hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid dari hepatosit melalui suatu sistem transport berfasilitas (carrier-mediated saturable system) yang saturasinya sangat besar. Sehingga, dalam keadaan patologis pun transport tersebut tidak dipengaruhi. Kemungkinan pada tahap ini bukan merupakan proses rate limiting.
Konjugasi Bilirubin
Dalam hati, bilirubin mengalami konjugsi menjadi bentuk yang lebih polar sehingga lebih mudah diekskresi ke dalam empedu dengan penambahan 2 molekul asam glukoronat. Proses ini dikatalisis oleh enzim diglukoronil transferase dan menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim tersebut terutama terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukoronat sebagai donor glukoronil. Aktivitas UDP-glukoronil transferase dapat diinduksi oleh sejumlah obat misalnya fenobarbital.
Metabolisme bilirubin dalam hati dibagi menjadi 3 proses:
1. Pengambilan (uptake) bilirubin oleh sel hati
2. Konjugasi bilirubin
3. Sekresi bilirubin ke dalam empedu
Pengambilan Bilirubin oleh Hati
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma dan terikat dengan protein, terutama albumin. Beberapa senyawa seperti antibiotika dan obat-obatan bersaing dengan bilirubin untuk mengadakan ikatan dengan albumin. Sehingga, dapat mempunyai pengaruh klinis. Dalam hati, bilirubin dilepaskan dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid dari hepatosit melalui suatu sistem transport berfasilitas (carrier-mediated saturable system) yang saturasinya sangat besar. Sehingga, dalam keadaan patologis pun transport tersebut tidak dipengaruhi. Kemungkinan pada tahap ini bukan merupakan proses rate limiting.
Konjugasi Bilirubin
Dalam hati, bilirubin mengalami konjugsi menjadi bentuk yang lebih polar sehingga lebih mudah diekskresi ke dalam empedu dengan penambahan 2 molekul asam glukoronat. Proses ini dikatalisis oleh enzim diglukoronil transferase dan menghasilkan bilirubin diglukoronida. Enzim tersebut terutama terletak dalam retikulum endoplasma halus dan menggunakan UDP-asam glukoronat sebagai donor glukoronil. Aktivitas UDP-glukoronil transferase dapat diinduksi oleh sejumlah obat misalnya fenobarbital.
Sekresi
Bilirubin yang sudah terkonjugasi akan disekresi kedalam empedu melalui mekanisme pangangkutan yang aktif dan mungkin bertindak sebagai rate limiting enzyme metabolisme bilirubin. Sekeresi bilirubin juga dapat diinduksi dengan obat-obatan yang dapat menginduksi konjugasi bilirubin. Sistem konjugasi dan sekresi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional yang terkoordinasi.
Metabolisme Bilirubin di Usus
Setelah mencapai ileum terminalis dan usus besar bilirubin terkonjugasi akan dilepaskan glukoronidanya oleh enzim bakteri yang spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus bilirubin selanjutnya dirubah menjadi urobilinogen.
Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan diekskresikan kembali lewat hati, mengalami siklus urobilinogen enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh flora normal colon menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika dibiarkan udara disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin.
Bilirubin yang sudah terkonjugasi akan disekresi kedalam empedu melalui mekanisme pangangkutan yang aktif dan mungkin bertindak sebagai rate limiting enzyme metabolisme bilirubin. Sekeresi bilirubin juga dapat diinduksi dengan obat-obatan yang dapat menginduksi konjugasi bilirubin. Sistem konjugasi dan sekresi bilirubin berlaku sebagai unit fungsional yang terkoordinasi.
Metabolisme Bilirubin di Usus
Setelah mencapai ileum terminalis dan usus besar bilirubin terkonjugasi akan dilepaskan glukoronidanya oleh enzim bakteri yang spesifik (b-glukoronidase). Dengan bantuan flora usus bilirubin selanjutnya dirubah menjadi urobilinogen.
Urobilinogen tidak berwarna, sebagian kecil akan diabsorpsi dan diekskresikan kembali lewat hati, mengalami siklus urobilinogen enterohepatik. Sebagian besar urobilinogen dirubah oleh flora normal colon menjadi urobilin atau sterkobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan melalui feces. Warna feces yang berubah menjaadi lebih gelap ketika dibiarkan udara disebabkan oksidasi urobilinogen yang tersisa menjadi urobilin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar